Jumat, 15 Januari 2016

3 YEARS AGO

"Ow!”

“Ah, maaf. Tahan sebentar ya. Kau tidak mau lututmu terinfeksi’kan?”


“Hmph, baiklah...”

Setelah menyelesaikan misi mereka, mereka bergegas kembali ke asrama, markas mereka. Asrama ini sengaja dibangun untuk tempat tinggal para Demon Hunter. Jadi jika ada misi mendadak, mereka tidak perlu lagi mengunjungi rumah para anggotanya satu per-satu. Cukup membunyikan alarm dari ruang laboratorium di lantai 4 dan semuanya pun akan terbangun.

Untuk pembagian kamar, kamar untuk laki-laki ada di lantai 2 dan sedangkan kamar untuk perempuan berada di lantai 3. Di lantai 1 terdapat ruang tamu, dapur, dan ruang makan.

“Huaaahm... aku capek sekali... Aku mau tidur, ah!” Haruki, setelah lukanya disembuhkan, menguap dan menaiki tangga menuju lantai 2.

“Aku juga... kenapa badanku lelah sekali? Rasanya seperti tidak tidur selama seharian..?” Liana merasa kelopak matanya semakin berat.

“Itu efek samping dari mengalahkan demon. Kau mengeluarkan banyak tenaga sehingga kau terasa sangat lelah. Bagaimana kalau kau menginap satu malam saja disini?” Saran Juno.

Liana berpikir sejenak lalu tersenyum ke arah Juno. Liana mau saja menginap di asrama ini. Tetapi, ia takut kalau ayahnya akan khawatir. Dengan berat hati, Liana harus menolak permintaan Juno.

“Maaf, Juno-senpai. Tapi, aku harus pulang. Ayahku akan mengkhawatirkanku,”

“Oh… Kalau ibumu, bagaimana? Dia pasti setuju kan kalau kau menginap disini?”

Skak mat! Pertanyaan Juno langsung membuat Liana diam membeku, tidak bergerak se-senti pun. Tenggorokannya terasa sangat kering walaupun ia sudah menelan ludahnya beberapa kali.

“Hei, Liana? Kau tidak apa-apa?”
Juno menepuk pundak Liana. Tetapi, Liana langsung menepisnya secara cepat. 

Anggota Demon Hunter yang lain langsung menengok ke arah mereka berdua. Haruki yang sedang menaiki tangga pun langsung berhenti di tengah tangga.

“Liana? Ada ap-“

“Jangan. Berani. Menyentuhku.” Liana menatap tajam Juno. Mata sapphire miliknya melihat ke arah Juno dengan tatapan takut dicampur marah.

Saki yang melihat dari meja makan langsung segera berdiri dan menghampiri kedua perempuan itu. Ini bukan Liana. Liana yang asli adalah orang yang jarang marah. Dia juga orang yang baik dan sabar. Tidak seperti perempuan yang ada di depan mata Saki dengan tatapan seperti itu. Mata Liana tidak pernah melotot, kedua matanya selalu memancarkan tatapan lembut.

Ah! Jangan-jangan… ‘dia’ akan muncul…!

Tidak. Saki tidak akan membiarkan ‘dia’ muncul lagi!

“Liana? Kau kenapa? Kau sakit?” Tanya Juno yang memasang wajah khawatir.

“Uggh… Ghh… AAAAAH!!!”

Liana mulai berubah. Rambutnya semakin panjang dan rambut pirangnya menjadi merah. Mata sapphire indah itu berubah menjadi warna hitam pekat yang kosong. Dua taring tajam muncul dari mulutnya. Lalu, ia menatap satu persatu orang-orang di asrama itu dengan pandangan benci.

“Liana!” Saki langsung menghampiri Liana. Kedua tangannya mencengkram pundak Liana dan mengguncang-guncangkannya agak kasar.

“Liana! Sadarlah! Ini aku, Saki!”

Liana malah melotot ke arah Saki dan melepaskan tangan Saki dari pundaknya, mendorongnya dengan kuat sehingga Saki terpental agak jauh. Dengan sigap, Kurosuke langsung menangkap Saki sebelum terjatuh lalu membantunya berdiri.

“Jangan sekali-sekali mengucapkan tiga huruf itu! Aku benci! Benci… aku benci… benci semuanya… benci, benci, benci…. BENCI!”

Liana berteriak sambil memegangi kepalanya. Ingatannya tentang masa lalu mulai kembali. Setiap kepingan-kepingan ingatan masa kecilnya memasuki otaknya dan mulai berputar-putar di pikirannya.

“AGH! TIDAK…! TIDAK! AYAH! TOLONG AKUUU!”

Teriakan Liana semakin kencang dan rasa sakit di kepalanya semakin hebat. Cairan merah di matanya sudah mulai menumpuk, lalu akhirnya mengalir perlahan.

Dia menangis darah.

Kurosuke tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya sekarang. Seorang perempuan yang baru saja bergabung dengan Demon Hunter baru saja berubah menjadi sosok yang mengerikan. Dan sekarang sosok itu sedang mengalirkan darah dari matanya. Ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa manusia berubah bentuk? Dan bagaimana bisa manusia menangis darah?

Juno hanya bisa diam melihat keadaan Liana. Sedangkan Haruki, dia sama sekali tidak bergerak. Entah karena takut atau takjub.

“Liana! Hentikan!”

Saki langsung berlari menuju Liana, dan memeluknya dengan erat seakan ia tidak akan membiarkan Liana untuk pergi.

“A-ayah… tolong, ayah… hiks… tolong aku...”

Liana memeluk Saki balik dan menangis di pundak Saki, membasahi baju Saki dengan cairan berwarna merah. Perlahan-lahan tubuhnya mulai kembali seperti semula.

“Ah… ayah…”

BRUK!!

“Liana?! Bangun, Liana! Lianaaa!”

@@@@@

Liana tertidur di salah satu kamar kosong di lantai 3 asrama tersebut. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Juno merapikan sedikit poni yang menghalangi wajah Liana dan menyingkapkannya dibalik telinganya. Lalu, ia mengelus pipi Liana dengan lembut.

“Dia tidak apa-apa, hanya kecapekan saja. Kalian tidak perlu khawatir. Terutama kau, Haruki, hentikan tingkah konyolmu itu!”

Juno langsung mendorong Haruki terus menerus karena dia berusaha untuk naik ke atas tempat tidur.

“Tapi Juno! Liana terlihat pucat! Apa kau tidak merasa kasihan? Aku harus menemaninya agar dia membaik!”

“Kau ini… Jaga tingkah lakumu!”

Juno akhirnya memukul kepala Haruki sampai terdengar bunyi-BUAK!-yang keras. Haruki pun langsung jatuh pingsan.

Kurosuke, yang biasanya menangkap orang yang jatuh di depannya, langsung membuka pintu kamar dan keluar begitu saja. Haruki akhirnya jatuh ke lantai tanpa ada yang peduli.

“Kalau begitu, aku… akan kembali ke kamarku-“

“Kau tetap disini, Saki. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu,”

Tap!

Saki menghentikan langkahnya. Kemudian ia memutar badannya menghadap Juno yang sedang menumpu kaki kanannya di atas kaki kirinya. Wajahnya tampak serius sekali, dan tatapan matanya mengatakan bahwa ada hal besar yang harus dipecahkan.

“Ada apa, senpai?” Tanya Saki yang sudah bersiap-siap untuk diceramahi. Mata kakak kelasnya itu tidak pernah bisa dibohongi kalau dia sedang kesal.

“Yamada Saki… kenapa kau tidak bilang kalau dia itu-“

“Iya, aku tahu, senpai. Maafkan aku. Tapi-“

BRAK! Juno menggebrak meja rias di sampingnya.

“Bagaimana bisa kau tidak mengatakan hal sepenting itu padaku?!”

“Aku-“

“Jawab aku, Yamada!”

“DENGARKAN AKU DULU, SENPAI!”

Krik… krik… suasana di kamar itu pun menjadi semakin intens. Suara teriakan Saki yang menggema hingga ke seluruh lantai langsung membuat Juno diam seribu kata. Lalu, ia berdehem kecil.

“Ehem, maafkan aku Saki. Aku hanya, kau tahu, aku sangat khawatir dan membiarkan emosi memakanku. Aku benar-benar minta maaf,” Juno menepuk pundak Saki dengan pelan.

“Tidak apa kok, senpai. Aku mengerti.”

“Baiklah… Jadi, tentang Liana? Bagaimana dia bisa, ya, kau tahu…”

“Ya. Hal ini tidak terjadi untuk yang pertama kalinya. Tapi, sudah berkali-kali. Aku mulai sadar ketika kami berumur 9 tahun. Kami sedang bermain, dan… dia berubah. Tapi itu tidak seberapa. Yang paling parah adalah-“

Saki menundukkan kepalanya. Ia memejamkan matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan kembali mengangkat kepalanya. Dia mulai membuka matanya perlahan-lahan.

“-3 tahun yang lalu, ketika kami masih duduk di kelas 7 SMP. Kejadian itu sampai menelan banyak korban jiwa”

FLASHBACK: 3 Tahun Lalu

KRIIING!

Bel istirahat telah berbunyi. Seluruh murid berangsur-angsur menuju kantin sekolah untuk mengenyangkan perut mereka masing-masing. Saki merapihkan bukunya sedikit lalu berjalan ke luar kelas. Ia menuju ke kelas 7-3 dan mengintip dari balik pintunya. Matanya menerawang ke seluruh penjuru kelas, tetapi dia tidak menemukan apa yang ia cari.

Akhirnya, Saki pun bertanya kepada salah satu murid di kelas tersebut.

“Permisi,” Ujar Saki kepada murid lelaki yang baru saja mau keluar dari kelas itu.

“Ah, ya, ada apa?”

“Apa Liana Fleur ada di dalam?” Tanya Saki pada murid itu.

“Oh, kalau tidak salah Fleur-san sudah keluar sejak beberapa menit lalu.”

“Begitu ya… Terima kasih banyak,”

Saki langsung berjalan dengan terburu-buru ke kantin. Ketika dia sedang menuruni tangga, seseorang meneriaki namanya.

“Saki, tunggu!”

Saki memutarkan kepalanya ke arah suara itu, dan ternyata Liana yang memanggilnya. Liana mulai menuruni tangga satu persatu untuk menyusul tempat dimana Saki berdiri.

“Liana? Kupikir kau sudah ke kantin lebih dulu,”

Liana menggelengkan kepalanya.

“Tidak, aku baru saja keluar dari kamar mandi. Maaf,aku lupa memberitahumu, Saki.”

“Haha… tidak apa-apa. Sebenarnya, sih, aku memang ingin meninggalkanmu…”

“Huuh… Saki jahat!”

Liana memukul lengan Saki, dan Saki pura-pura merasa kesakitan. Mereka bercanda dan tertawa selama perjalanan mereka ke kantin sampai-sampai dilihati murid-murid yang lain.

Tak lama kemudian, mereka telah sampai di kantin. Saki akan mengambilkan makanan, sedangkan Liana mencari tempat duduk untuk mereka berdua.
Liana menengok ke kanan dan ke kiri mencari tempat duduk yang kosong. Sulit sekali untuk mencarinya diantara kerumunan murid-murid. Tapi akhirnya ia menemukannya, di pojok kanan baris ketiga. Liana langsung menghampiri tempat itu dan mendudukinya sebelum diambil oleh yang lain.

Ia berhasil duduk di tempat itu, tetapi tiba-tiba seorang murid datang dan menggebrak meja Liana.

BRAK!

Jantung Liana sempat berdetak kencang karena kaget, lalu ia melihat orang yang telah menghampiri dan menggebrak mejanya.

“Emm, apa senpai ada urusan denganku?” Tanya Liana yang terdengar seperti memancing amarah mereka padahal ia hanya sekedar bertanya saja.

“Ha! Jangan pura-pura tidak tahu ya. Ini tempat dudukku!” Kata murid perempuan berwajah sok itu. Sedangkan murid lain di belakangnya hanya tertawa terkekeh-kekeh.
Liana mengerti sekarang. Pantas saja tempat duduk ini tidak ada yang mau menempati padahal letaknya sangat strategis. Ternyata sudah ada yang menempatinya dan itu adalah segerombolan geng murid perempuan kelas 9.

Biasanya, murid yang pengecut akan langsung lari ketakutan dan mencari tempat lain.Tapi Liana berbeda. Ia tidak takut pada siapapun selama dia benar dan mereka yang salah. Seenaknya saja mereka mengambil hak orang. Mereka pikir mereka siapa? Kepala sekolah saja tidak seperti itu.

“Lalu kalau ini tempat duduk senpai, kenapa? Apa aku harus mengalah dan mencari tempat lain?” Tanya Liana menantang kakak-kakak kelas itu. Melihat wajah-wajah mereka yang kesal itu sebenarnya membuat Liana takut. Tapi Liana berusaha menghilangkan rasa ketakutannya.

“Jangan buat aku kesal, bocah! Baru kelas 7 saja sudah sombong!” Murid kelas 9 itu menarik rambut Liana dengan paksa, membuat Liana meringis kesakitan. Mereka pun tertawa bersama.

“Hahahaha!”

“Habisi dia, Tanaka!”

“Kita buat dia agar dia  menyesal sampai-sampai ia malu menunjukkan wajahnya di sekolah!”

Murid-murid yang lain hanya bisa melihat kejadian itu dan berdoa agar Liana selamat. Mereka mau saja membantu, tapi mereka kurang kuat. Sedangkan beberapa murid yang terkenal akan kenakalannya malah mendukung dan bersorak-sorak.

Saki mencari-cari dimana Liana sambil membawa makanan. Sambil mencari, matanya tertuju pada keramaian di pojok kanan kantin. Tapi, daripada memikirkan itu, lebih baik dia menemukan Liana terlebih dulu.

Tanaka tersenyum jahat dan menarik tangan Liana dengan kasar, menyuruhnya untuk mengikuti dia. Teman-temannya tertawa sambil mengintili Tanaka di belakang.
Liana berusaha melepaskan cengkraman tangan Tanaka dari lengannya, tapi ia tidak terlalu kuat untuk melakukannya. Ia mulai merasa ketakutan. Badannya gemetar tak karuan. Dia pasti akan di-bully dan dipermalukan oleh kakak-kakak kelas ini.
Liana tidak mau! Ia benci diperlakukan seperti ini! Ia tidak terima! Ia benci ini! Ia benci!!

Tanaka terus menarik tangan Liana, tetapi dia tidak bergerak sama sekali. Ia pun mulai kesal.

“Hei, bocah! Jangan bengong-“

Sebelum Tanaka menyelesaikan kata-katanya, tangan putih itu menarik kerah bajunya dan beberapa detik kemudian tangannya yang lain melayang mengenai dagunya,meniru gaya upper cut, dan Tanaka terpental jauh sampai-sampai meja dan 
kursi di kantin itu rusak.

BUAAAK!!!

Murid-murid di kantin langsung memandang kejadian itu dengan tidak percaya. Tanaka, pemimpin geng murid perempuan yang paling kuat dan sombong di kelas 9 itu, kalah dengan anak kelas 7?! Tidak mungkin!

Dan lagi, murid yang mengalahkan Tanaka itu telah hilang entah kemana. Tetapi, ada seorang perempuan berambut merah dengan tatapan kosong berdiri tepat dimana murid perempuan yang memukul Tanaka tadi.

Saki, yang sudah mencari kemanapun tapi tidak menemukan Liana, akhirnya tertarik untuk melihat kejadian yang menyebabkan kehebohan itu.

Karena Saki tidak bisa melihat kejadian dengan jelas, ia pun bertanya kepada murid di depannya yang sedang memajang wajah kaget. Saki menepuknya pundaknya pelan agar murid itu tidak kaget.

“Permisi,”

Murid laki-laki tersebut menengok ke belakangnya.

“Apa…?”

“Anu, sebenarnya apa yang terjadi tadi?”

“Kau tidak melihatnya? Perempuan itu meng-upper cut Tanaka sampai dia pingsan! 
Padahal katanya ia anak kelas 7! Yah, aku juga tidak yakin kalau Tanaka masih hidup atau tidak…”

Saki menatap murid itu dengan tidak percaya. Tidak yakin kalau masih hidup atau tidak? Maksudnya… mati? Siapa yang punya kekuatan seperti itu sampai bisa membunuh orang?

Perempuan berambut merah panjang itu menengok ke belakang. Kerumunan murid itu langsung ketakutan dan mundur beberapa langkah. Terutama anak-anak yang suka membuat masalah di sekolah.

Perempuan itu menatap seluruh murid disitu dengan tatapan kosong sampai-sampai orang lain pun tidak bisa mengira apa yang sedang dia rasakan saat itu. Marah kah? Sedih kah? Senang kah? Tidak ada yang tahu. Tidak akan pernah ada yang tahu.

Beberapa detik kemudian, ia menyeringai, menunjukkan deretan giginya yang bertaring dan juga tajam.

Ia memutarkan badannya. Kaki kirinya ia tekuk perlahan-lahan, dan…

Lari dengan kecepatan tinggi!

“Mati! Matilah kalian semua! Ahahahaha!!”

SRAAAT!

CRAAT!

SRAAAT!!

BRUK!

“KYAAAAAA!!!”

“WAAAA!!”

“SEMUANYA, LARI!”

Saki bengong melihat keadaan yang sedang terjadi di depan matanya. Hampir seluruh murid di sekolahnya telah terkulai tidak bernyawa. Darah berceceran di lantai kantin saat itu.

Dan dia melihat sosok tersebut. Sosok perempuan berambut merah panjang itu sedang membunuh murid-murid lain. Ah, Saki tahu tepat siapa perempuan itu. Itu adalah…

Liana…

“Hei! Saki! Ayo cepat pergi dari sini!”

Teman sekelas Saki menarik lengannya. Lalu Saki membiarkan dirinya dibawa oleh temannya, entah kemana kah dia akan pergi. Yang pasti, temannya akan membawa dia ke tempat yang aman bersama dengan murid-murid lain.

Hari itu, kantin menjadi area yang sangat menjijikan. Mayat bergelimpangan dimana-mana, darah segar berceceran dan bahkan ada yang bagian tubuhnya sudah terpisah.
Sungguh kejadian yang mengerikan.

FLASHBACK: 3 tahun lalu END

“…. Begitulah,”

“Hem… jadi itu yang menyebabkan banyaknya korban jiwa yang jatuh. Bukannya kalau tidak salah, kepala sekolah di SMP itu bilang bahwa semuanya terjadi karena kebakaran?” Juno, yang berusaha memastikan apakah informasi yang diberikan Saki itu benar atau tidak, bertanya kepadanya.

Ya, SMP Sakura memang pernah mengalami kejadian yang menelan banyak korban jiwa. Pihak sekolah berkata bahwa semua itu terjadi karena kebakaran yang berasal dari kantin. Memang bukan kebakaran besar, tapi entah kenapa ini menjadi berita yang sangat terkenal waktu itu. Dan anehnya, seluruh Jepang percaya bahwa kejadian itu terjadi akibat kebakaran. Padahal, tidak ada yang hangus sama sekali. Tubuh-tubuh korban pun juga tidak memiliki luka bakar sama sekali yang bisa menyebabkan kematian. Hanya ada darah yang bercampur menjadi satu di lantai putih tersebut dan mayat-mayat yang bagian tubuhnya sudah terpisah-pisah.

“Itu hanya alibi kepala sekolah kami saja. Karena terlalu banyak orangtua murid yang memprotes, tak lama kemudian  sekolah itu pun ditutup. Aku dan Liana terpaksa mencari SMP lain,”

Juno mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia melirik ke arah Liana yang tertidur dengan pulasnya di atas tempat tidur. Rasanya ada suatu hal yang membuat Juno ingin 
terus melindunginya selamanya. 

Apakah karena dia itu... 

Tidak dilahirkan dengan tubuh manusia sepenuhnya?

‘Ya, mungkin karena itu…’ Pikir Juno sambil tersenyum tipis.

@@@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar