Ya sudahlah, lebih baik masuk saja. Toh, walaupun
dia tidak masuk selama beberapa jam pun ujung-ujungnya dia akan masuk juga.
Krieeek…
Blam!
“Aku pulang-“
“Selamat datang, Liana!!”
Seorang pria berambut pirang dan dikuncir satu itu
langsung menuju pintu rumahnya, lalu memeluk anak putrinya dengan erat. Liana
hanya tertawa kecil melihat tingkah laku ayahnya dan memeluknya balik.
“Kemana saja kamu, Liana? Ayah benar-benar khawatir!”
Ayahnya melepas pelukan mereka dan memegang kedua pundak Liana, mengguncangnya
dengan pelan.
“Kemarin aku mengerjakan tugas di rumah temanku
sampai larut malam, lalu akhirnya dia menyuruhku untuk menginap saja di
rumahnya,” Kata Liana yang berbohong.
“Oh, begitu… syukurlah kau tidak apa-apa, Liana…”
Ayah Liana mengusap-usap rambut Liana dengan lembut
dan mengajak Liana untuk sarapan bersama. Liana pun mengikuti ayahnya di
belakang. Terkadang, Liana meragukan apabila ayahnya ini benar-benar pria atau
bukan. Lihat saja, rambutnya panjang, tinggi badannya juga dibawah rata-rata
pria seumurannya, dia juga tidak bertumbuh janggut atau kumis. Liana lebih
menganggap ayahnya itu seperti ibu dibandingkan seorang ayah.
Liana tersenyum dengan lebar. Ayahnya memang ayah
terunik di dunia.
@@@@@
“Hah… besok sekolah…”
Hari telah malam. Liana merebahkan dirinya di atas
kasur sambil memeluk bonekanya. Lalu, ia berbicara dengan boneka itu layaknya
ia sedang berbincang-bincang dengan temannya.
“Hei, Miku-chan? Menurutmu, apakah besok aku masih
hidup?”
Boneka Miku itu diam.
“Miku-chan?” Liana pun bertanya lagi kepada
bonekanya itu, “Menurutmu… demon itu
benar-benar nyata atau hanya khayalan saja?”
“Kalau tidak nyata, kenapa kau bisa membunuhnya?”
Liana langsung kaget. Bonekanya berbicara! Tapi,
tunggu. Kenapa suara boneka miliknya itu seperti laki-laki? Miku-chan, kan,
perempuan?
“Miku-chan? Kamu bisa bicara?”
Terdengar helaan napas dari suara itu.
“Bukan dia yang berbicara. Tapi aku,”
Liana ber ‘eh’ lalu menengok ke arah jendelanya.
Seorang laki-laki mengenakan seragam SMA-nya sambil membawa katana hitam di pinggang kirinya.
Wajahnya yang selalu cemberut itu menambah kesan mengerikan, ditambah lagi
dengan matanya
yang semerah darah.
“Ah… Kurosuke-senpai…
kau mengagetkan aku saja…” Liana mengelus dadanya tanda lega. Ia pikir
bonekanya benar-benar berbicara, tapi ternyata tidak. Syukurlah…
“Aku disuruh Juno untuk menjemputmu. Ayo,”
“Eh? U-untuk apa?” Tanya Liana sambil memiringkan
kepalanya.
Kurosuke hanya bisa mendecak kesal. Kenapa perempuan
satu ini sangatlah polos? Bukankah sudah pasti kalau Juno memanggil, berarti
ada misi?
“Misi. Cepat, kau membuang-buang waktu,” Kata
Kurosuke tidak sabar.
“Tapi, aku belum mengganti bajuku-“
“Kalau begitu cepat. Aku akan menunggumu di atas
atap rumahmu. Ingat, aku benci menunggu.”
Kurosuke naik ke atas atap rumah Liana dan duduk
sambil mengawasi keadaan sekitar. Liana menutup jendela kamarnya dan berganti
baju menjadi seragam sekolahnya.
Beberapa menit kemudian…
“Aku sudah selesai, senpai!”
Liana membuka jendela lalu membiarkan Kurosuke untuk
turun dan bersandar di jendela. Setelah merasa bahwa semuanya sudah siap,
Kurosuke langsung melompati setiap atap rumah.
Liana diam sebentar lalu keluar melalui jendela.
Perlahan-lahan, dia meletakkan kaki kanannya, lalu disertai kaki kirinya.
Tangannya masih berpegangan erat dengan jendela.
Ia tidak pernah keluar melalui jendela ataupun
melompati atap-atap rumah orang sekalipun. Biasanya, ia keluar rumah melalui
pintu depan saja. Tapi melalui jendela? Liana belum pernah melakukan hal
se-ekstrim itu.
Ia melompat ke atap rumah lain, dan berhasil.
Tetapi, kaki kirinya tidak mengenai pijakan dan tubuhnya pun mulai terjatuh ke
belakang.
GREP!
“Lain kali hati-hati lah,” Kurosuke langsung
menangkap lengan Liana dan menariknya.
“Ah… terima kasih, senpai,” Liana merasa wajahnya memerah karena malu. Berkali-kali dia
telah ditolong oleh Kurosuke tetapi dia tidak bisa membalaskan budinya itu.
“Hn.” Jawab Kurosuke dengan singkat. Tangan kanannya
menarik Liana dan menuntunnya melewati tiap atap-atap rumah.
Liana hanya pasrah dan membiarkan Kurosuke
membawanya.
@@@@@
Setelah 22 menit melompati atap-atap rumah orang
lain, akhirnya mereka sampai di Asrama Demon
Hunter. Kurosuke membuka pintu asrama dan memasukinya, membiarkan pintunya
terbuka lebar agar Liana masuk. Liana pun memasuki asrama dan menutup pintunya
dengan perlahan.
“Selamat datang, Liana-chan!” Sambut Juno yang sedang duduk sambil membaca sebuah majalah
wanita di pangkuannya.
Liana menjawabnya dengan senyuman. Semua anggota Demon Hunter telah berkumpul di ruang
tamu. Ada Haruki yang sedang berlatih dengan setiap tendangan dan pukulannya,
lalu Saki melemparkan bumerangnya ke dinding dapur dan langsung menangkapnya
ketika bumerang miliknya kembali, Kurosuke langsung duduk disamping Juno yang
sudah selesai membaca majalahnya, dan seorang pria yang belum pernah Liana
lihat sebelumnya. Rambut merah pria itu mengingatkannya pada guru sejarah
di sekolahnya.
“Sanada-sensei,
ini anggota baru yang kubicarakan waktu itu,” Juno menarik Liana agar pria
ber-jas itu bisa melihatnya dengan lebih jelas.
“Oh, dia orangnya… salam kenal, aku Sanada Shigeru.
Aku mengajar pelajaran sejarah di sekolah. Aku adalah pembina dari klub ini.
Kita pasti pernah bertemu sebelumnya, tapi aku akan berusaha untuk mengingat
wajahmu, Liana.” Sanada-sensei tersenyum
sambil membenarkan letak kacamatanya.
“Ya, salam kenal, sensei…” Liana membungkukkan badannya.
Haruki yang sudah merasa bosan tiba-tiba berhenti
berlatih dan menghampiri Juno dengan wajah cemberut. Ah, Juno tahu kenapa dia
seperti itu. Pasti dia ingin segera menjalankan misi hari ini. Terkadang, teman
sekelasnya itu mudah sekali untuk ditebak.
“Juno…!”
“Iya, iya, aku tahu. Ehem,” Juno berdehem kecil,
“Baiklah. Hari ini misi kita tidak begitu sulit. Aku mendeteksi bahwa ada demon yang sedang berkeliaran di 2
tempat, yaitu di Stasiun Konohana dan di depan Toko Lawson.”
“Tapi, bagaimana kalau di tempat itu ada manusia
lain yang melihatnya?” Tanya Liana.
“Tentu saja akan ada yang melihatnya. Tapi keesokan
harinya, mereka akan langsung lupa atau menganggapnya bahwa itu hanyalah mimpi.
Dan bagi yang terus mengingatnya sampai-sampai mereka terkena tekanan batin
karena saking ketakutannya…” Juno memejamkan matanya, lalu membukanya dengan
perlahan, “… Mereka akan terus seperti itu. Kami menyebut mereka dengan EF.”
"EF? Apa itu?” Tanyanya lagi.
“EF adalah singkatan dari Everlasting Fear, semacam sindrom yang membuat sang pelaku
yang telah melihat demon langsung
berteriak-teriak tanpa henti layaknya orang yang sedang kerasukan hantu nenek
moyangnya.” Jelas Juno panjang lebar pada Liana.
DEG!
Liana merasa bulu kuduknya berdiri. Se-menakutkan
itukah demon, sampai bisa membuat
orang menjadi seperti itu? Benar-benar mengerikan…
“Apakah semua itu… benar?” Tanya Liana yang masih
tidak percaya dengan apa yang Juno katakan.
“Iya, semua yang Juno katakan itu benar. Tapi,”
Sanada-sensei bangkit dari tempat
duduknya dan menepuk pundak Liana pelan “Kau tidak perlu khawatir. Sebab, kau
aman dari EF karena kau
bisa melawan demon-demon itu sendiri.”
Katanya sambil melemparkan senyumnya ke Liana agar Liana merasa lebih tenang.
“Baik! Aku akan membuat 2 kelompok. Kurosuke dan
Liana,” Juno menunjuk ke arah dua orang yang sedang duduk di atas sofa itu
“Kalian pergi ke Stasiun Konohana. Sementara aku, Haruki, dan Saki akan pergi
ke Toko Lawson. Aku ingin kalian memusnahkan seluruh demon di tempat itu tanpa tersisa sedikit pun. Mengerti?”
Seluruh anggota Demon
Hunter pun mengangguk secara bersamaan.
“Sekarang… laksanakan misi!”
Para anggota Demon
Hunter langsung keluar dari asrama
mereka dan mulai melaksanakan misi sesuai dengan apa yang dikatakan Juno.
Sanada-sensei terdiam, lalu akhirnya
ia menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di sofa yang empuk itu.
“Haah… lagi-lagi aku ditinggal sendirian…”
Ia menatap langit-langit asrama, kemudian sorot
matanya berubah menjadi serius.
“… Berjuanglah, murid-muridku.”
@@@@@
“GYAAH! MENJAUH DARIKU!”
“MONSTEEER!!”
“WAAA!!!”
Kurosuke dan Liana telah sampai di tujuan. Betapa
kagetnya Liana ketika melihat banyak orang yang sedang berlari kesana-kemari
untuk menyelamatkan nyawa mereka dari kejaran demon. Ada juga yang tidak berhasil melakukan pelariannya dan malah
menjadi makanan untuk para demon.
“Kau siap?” Tanya Kurosuke sambil mengeluarkan katana miliknya dari sarungnya.
Liana mengambil pisau-pisaunya dan meletakkannya di
sela-sela jarinya, “Siap!”
“Ayo!”
Kurosuke menebas demon
satu per-satu dengan katananya.
Ia berlari sambil menggerakkan tangan kanannya dan membunuh demon-demon yang menghalangi jalannya.
“Graaaw!”
“Ha!”
CRAAAS!!
Tiap demon yang
mendekatinya akan berakhir dengan badan terbelah dua, bagian-bagian tubuh yang
terlempar entah kemana, dan darah merah tua yang menghiasi tanah stasiun ini.
Demon
lain kembali menyerang Kurosuke. Dengan sekali tebasan saja, langsung bisa
membunuh hingga berpuluh-puluh demon.
Ketika ingin menghampiri Liana, demon menyerangnya dari belakang. Kurosuke pun menghentikan
langkahnya dan memutar katananya agar
ujung pedangnya itu di belakang. Tanpa aba-aba, ia langsung menusukan katana miliknya itu ke perut demon. Lalu, ia menarik pedangnya lagi
dan membuat darah muncrat dengan derasnya dari perut demon tadi.
Kurosuke pun berlari menghampiri Liana yang sedang
bertarung tidak jauh darinya.
“Haaat…. Hyaa!”
JLEB JLEB JLEB!
“Grauur…!!!”
Liana melemparkan pisau-pisaunya dan tepat mengenai
jantung demon itu. Ia pun mulai
melemparkan pisau-pisaunya ke demon
yang lain.
“Raaawr!”
Demon
yang besar datang menghampiri Liana. Tangan besarnya berusaha meraih Liana.
Dengan cepat Liana melompat tinggi, melemparkan pisau-pisaunya ke udara, lalu
ketika benda itu jatuh ke bawah ia langsung menendangnya dan mengenai demon besar tersebut.
Liana menyeka keringatnya. Dia belum begitu terbiasa
dengan hal-hal seperti ini. Ia melirik ke depannya dan masih banyak demon-demon lain yang menanti untuk
dihabiskan.
Liana menarik napasnya perlahan-lahan, dan
membuangnya. Ia mengulanginya lagi sampai ia benar-benar bisa bernapas dengan
baik. Ia melirik ke arah kanan dan melihat Kurosuke yang sedang berlari
menujunya.
“Ah, senpai!”
Sapa Liana.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Kurosuke ketika sampai
di depan Liana.
Liana menganggukkan kepala tanda bahwa ia tidak
apa-apa.
Seorang murid perempuan yang mengenakan seragam SMP
berlari di depan tempat Kurosuke dan Liana berdiri. Semakin banyak langkah yang
ia pijakkan ke tanah, semakin dekat dirinya ke arah demon. Di tengah lariannya, ia menginjak tali sepatunya sendiri dan
terjatuh dengan wajah duluan yang mengenai tanah.
Liana berniat untuk menolongnya, tetapi tangan
Kurosuke menghadangnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Merasa kesal, ia pun
mendorong tangan Kurosuke dari hadapannya dan berlari menuju perempuan yang sedang
dikejar oleh demon itu.
“Oi! Jangan dekati dia! Bahaya!” Teriak Kurosuke
dari kejauhan. Namun, Liana tidak menghiraukan kata-katanya.
Ia mendecak kesal dan berlari menyusul Liana. Ia
bisa dihukum oleh Juno kalau sampai membiarkan Liana dibunuh.
Murid SMP itu diambang ketakutan dan lega. Kalau
saja perempuan yang sedang berlari ke arahnya itu sampai lebih dulu dibanding demon yang mengejarnya, ia pasti akan
selamat. Tetapi, jika demon itu
melaju lebih cepat dibanding perempuan berambut pirang tersebut, nyawanya akan
habis.
Sedikit lagi Liana akan sampai ke perempuan itu,
sama dengan demon yang terbang dengan
cepatnya dan hampir sampai ke tempat murid perempuan itu.
‘Ayo, Liana! Sedikit lagi…!' Katanya dalam hati.
4 langkah…
3 langkah…
2 langkah…
GREP!
“Hei! Kubilang bahaya!” Kurosuke memegang tangan
Liana. Liana langsung meronta-ronta berusaha melepaskan tangannya, tapi
Kurosuke mencengkramnya dengan kuat.
“Lepaskan, senpai!
Aku harus menolongnya!”
“Tidak. Kau juga akan mati!”
“Memangnya kenapa?! Aku tidak peduli! Lepaskan aku!”
Baru saja Liana berhasil melepaskan dirinya dari
Kurosuke, demon itu sudah sampai
lebih dulu. Makhluk aneh itu menyeringai lalu membuka mulutnya lebar-lebar.
“Hiee…! Tolong-!“
HAUP!
CTAAAS!
Sebelum murid itu menyelesaikan kalimatnya, demon bersayap berbentuk tangan itu
melahap kepalanya, melepaskannya langsung dari tubuhnya dengan paksa sehingga
mengeluarkan bunyi yang kurang enak untuk didengar, dan menelannya bulat-bulat.
“…. Ah…”
Liana tidak bisa bergerak. Ia terlalu shock dengan
seluruh tragedi yang baru saja terjadi di depan matanya. Dia… telah membiarkan
murid SMP itu dibunuh dan dimakan oleh demon.
Demon Hunter macam apa dia ini…? Bukannya melindungi, malah
membiarkan orang lain mati mengenaskan.
“Grrr…” Demon aneh
yang menyerang murid SMP tadi melirik ke arah Liana dan Kurosuke. Ia langsung
terbang dengan kecepatan penuh untuk menyerang mereka.
Liana, yang sedang berdiri di depan Kurosuke, tidak
bisa menggerakkan tubuhnya. Entah kenapa seluruh tubuhnya menjadi sangat kaku
karena terlalu shock dengan apa yang
terjadi tadi.
“Nggieek… Kieeek..!!” Teriak Demon itu yang sudah berjarak beberapa senti lagi di depan Liana
sambil membawa tombaknya yang besar itu.
“… Ugh…”
Liana memejamkan matanya. Air mulai mengalir dari
matanya dengan perlahan. Ia tidak berani membuka matanya, mungkin karena di
depannya ada demon yang akan
menyerangnya. Tapi, bukan karena itu ia menangis. Ia masih tidak bisa memaafkan
dirinya atas matinya murid SMP tadi. Baginya, ia telah melakukan dosa besar
karena tidak bisa menolong satu nyawa tak bersalah itu.
“Kieeeek…!”
JRAAAS!!
Tik… tik… suara jatuhnya darah ke lantai terdengar
dengan jelas.
Liana membuka matanya dan melihat mayat demon di depannya. Ia mundur beberapa
langkah hingga menabrak Kurosuke yang sedang berdiri di belakangnya sambil
mengacungkan pedangnya ke arah mayat demon
itu. Terdapat darah yang menempel sedikit di pedangnya.
Itu berarti… Kurosuke kah yang membunuhnya?
Tangan kiri Kurosuke langsung melepaskan lengan
Liana yang ia pegang dari tadi, lalu ia memegang sarung pedangnya, membantu
agar pedang yang ia pegang dengan tangan kanannya bisa masuk dengan mudah.
“… A-ah… a-aku… masih hi-hidup…?” Liana mengangkat
kedua tangannya ke depan wajahnya, lalu memegang kedua pipinya. Dia masih bisa
menyentuh dirinya sendiri. Itu berarti nyawanya belum hilang.
Kurosuke membiarkan Liana dengan dunianya sendiri,
lalu mengambil handphone dari saku
celananya. Ia mulai mengetik nomor seseorang lalu menelponnya. Setelah beberapa
detik, akhirnya telponnya pun diangkat.
“…
Halo?”
“Oi, Juno. Kami sudah menyelesaikan misi kami di
Stasiun Konohana. Demon disini tidak
begitu ganas, tetapi jumlahnya sangat banyak. Kami berhasil mengalahkan semuanya.
Dan,” Ia melirik Liana yang masih memegangi wajahnya. “Perempuan itu shock berat karena tidak bisa menolong
satu nyawa yang berharga. Yah, menurut dia, sih, berharga…” Katanya sambil
memutar bola matanya.
“Oh,
begitu… kalau begitu segeralah bawa dia pulang ke rumahnya. Kami bertiga juga
sudah menyelesaikan misi kami.”
“Baik.”
Kurosuke memutus nada sambungnya lalu berjalan
mendekati Liana. Ia berdiri di belakangnya dan memilih untuk diam sampai Liana
menyadari bahwa Kurosuke masih ada di sini.
Butuh 15 menit agar Liana kembali seperti semula
lagi. Ia melepaskan kedua tangannya dari pipinya, dan memutar badannya agar
bisa melihat Kurosuke.
“Senpai,
aku masih hidup kan…?” Tanya Liana dengan polosnya.
“Kau tidak mungkin bisa berbicara ataupun berdiri
kalau kau mati.” Jawab Kurosuke dengan sedikit ketus.
Liana hanya menundukkan kepalanya. Baru menjalankan
2 misi saja, dia sudah shock seperti
ini. Bagaimana dengan misi-misi selanjutnya? Apakah mentalnya bisa sekuat
anggota yang lain?
Entahlah. Dia tidak begitu yakin.
“Aku akan mengantarkanmu pulang. Cepat, jangan diam
saja disana.” Kurosuke berjalan menjauh dari stasiun. Setelah beberapa detik,
Liana mengikuti Kurosuke dari belakang.
Tapi, ketika dia ingin melangkah, dia mendengar
sebuah suara yang tidak terdengar dengan jelas, namun masih bisa didengar
dengan pendengaran manusia. Suara itu berkata tolong berkali-kali.
“Tolong… tolong kami…”
“Tolong…
kami tersesat… tolonglah…”
“Apakah…
ada orang disana…?”
“Tolong…
tolong… tolong…!!
“TOLONG!!
TOLONG KAMI!”
Tubuh Liana langsung bergetar hebat. Ia langsung
berlari keluar stasiun dan berdiri di samping Kurosuke. Tangan kanannya refleks
meraih lengan baju kiri Kurosuke dan mencengkramnya kuat.
Kurosuke pun bingung. Ada apa lagi dengan perempuan
satu ini?
Dalam perjalanan menuju rumah Liana, hanya suara
jangkrik yang terdengar. Keduanya tidak mau mengucapkan sepatah kata satupun.
“Emm… senpai…?”
Tanya Liana yang memecahkan keheningan.
“Hm,” Jawab Kurosuke singkat.
“Apa kau… mendengarnya?”
“Mendengar? Mendengar apa?” Giliran Kurosuke yang
bertanya.
“Suara orang minta tolong ketika di dalam stasiun.
Kau tidak mendengarnya?”
“Tidak.”
“Sama sekali tidak?”
“Sama sekali tidak.”
“… Oh…”
Liana kembali diam. Apakah Kurosuke benar-benar
tidak mendengarnya? Suara itu awalnya memang tidak terdengar jelas, tapi lama-lama
suara itu semakin kencang sampai membuat Liana ketakutan mendengarnya.
Setelah beberapa menit kemudian, mereka telah sampai
di rumah Liana. Seluruh lampu di rumahnya sudah dimatikan semua sehingga
terlihat mengerikan dari luar.
“Terima kasih sudah mengantarkanku, senpai”, Liana membungkukkan badannya
setengah.
“Hm. Cepat masuk ke dalam.”
“Iya. Sekali lagi terima kasih banyak.”
Liana langsung masuk ke dalam rumahnya dan berusaha
untuk tidak membuat suara sedikit pun karena takut ayahnya terbangun.
Kurosuke melihat Liana dari belakang, dan ketika
Liana sudah benar-benar masuk ke dalam rumah, ia pun kembali ke asrama dengan
cara melompati atap-atap rumah orang.
@@@@@
Chirp… chirp… suara burung saling berkicauan di pagi
hari yang cerah ini. Liana meregangkan tubuhnya, lalu beranjak turun dari
kasurnya. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya, dan
kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dia merapikan sedikit buku
pelajarannya lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah semuanya sudah rapih dan
beres, ia turun ke lantai 1 menuju ruang makan.
“Pagi ayah,” Sapa Liana pada ayahnya yang sedang
memasak untuk sarapan mereka.
“Pagi sayang.” Sapa ayahnya balik sambil tersenyum.
Lalu, ia melanjutkan aktivitas mengoseng-oseng penggorengannya.
Liana duduk di salah satu kursi dan menunggu sampai
ayahnya selesai masak. Setelah ayahnya selesai memasak, mereka berdoa lalu
makan sarapan bersama.
.
.
.
“Aku berangkat, ayah!”
“Hati-hati dijalan, sayang!”
Liana mengambil sepeda dari pekarangan rumahnya dan
membawanya ke depan rumahnya. Ia mulai menggowes sepeda miliknya menuju SMA-nya
dan tidak terlihat seperti mengingat kejadian kemarin.
Itulah Liana. Jika kemarin dia merasa sangat sedih
atau marah, keesokan harinya ia sudah melupakannya dan hanya menganggapnya
seperti angin lalu.
@@@@@
Angin di musim dingin ini mulai berhembus dengan
kencangnya, membuat suhu dingin disitu menjadi bertambah.
Liana menggowes sepedanya dengan penuh semangat,
lalu masuk ke dalam halaman sekolahnya. Ia menaruh sepedanya di parkiran sepeda
dan berjalan menuju gedung sekolah. Ia mulai disapa oleh teman-temannya yang
lewat di depan atau di sampingnya, dan Liana pun menyapa mereka balik.
Setelah naik ke lantai 3 dan menemukan kelasnya,
yaitu kelas 10-2, ia langsung memasukinya dan duduk di tempat biasa, yaitu di
barisan sebelah kiri nomor 3 dari belakang. Angin sepoi-sepoi bisa kita rasakan
jika duduk disitu karena jendelanya sudah tidak bisa ditutup karena rusak.
Entah kenapa jendela itu tidak pernah diperbaiki.
Liana menaruh tas lalu menghempaskan bokongnya di
kursi sambil menopang dagu dan melihat ke luar jendela. Telinganya bisa
mendengar jelas apa yang dibicarakan oleh teman-teman sekelasnya yang suka
sekali bergosip.
“Hei, kau tahu tidak? Aku baru saja ditembak oleh
kakak kelas!” Teriak perempuan berambut coklat panjang dengan beberapa jepitan
di rambutnya.
“Serius nih?! Terus, kau menerimanya?” Tanya
perempuan yang lain yang memiliki rambut bob yang tertata rapi. Dan setiap dia
bergerak, rambutnya ikut bergoyang.
“Tentu saja tidak. Wajahnya memang tampan sih, tapi
dia bukan tipeku.”
“Ah, kau ini. Sok jual mahal.” Kata perempuan satu
lagi yang berwajah galak dan rambutnya yang seperti model laki-laki itu
menambah kesan tomboy.
Mereka pun tertawa terbahak-bahak.
“Kalau tentang anak kembar yang menghilang, kalian
tahu tidaaak?” Tanya perempuan berambut bob itu pada 2 temannya.
“Anak kembar yang menghilang? Maksudmu, Si Kembar Miyamoto
itu? Kembar aneh itu?! Ahahaha!” Kata perempuan berambut panjang itu sambil
tertawa terbahak-bahak.
Liana melirik ke arah mereka. Dia pernah mendengar
tentang Si Kembar Miyamoto itu. Katanya, mereka berdua adalah murid terpintar
di angkatannya. Mereka tidak sekedar pintar di pelajaran yang hanya
mengeluarkan teori saja, tapi juga dalam pelajaran yang mengeluarkan fisik,
kreatifitas, dan lain-lain.
Tapi, kenapa teman sekelasnya itu memanggil mereka
aneh? Bukankah, kalau anak pintar itu hebat?
“Wahahaha! Baguslah kalau mereka hilang. Aku muak
melihat mereka berdua. Mereka sok pintar.” Kata perempuan berambut pendek itu
sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Mungkin karena mereka terlalu sombong dengan
kepintarannya, sehingga mereka dibunuh oleh seseorang dan mayatnya tidak
diketahui dan dinyatakan hilang!”
“Hahahaha!!”
Liana tidak suka mendengar mereka meledek murid
lain. Akhirnya, ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas dan memilih
untuk berkeliling daripada mendengar gosip bodoh itu.
.
.
.
KRIIING!
Suara bel tanda bahwa pelajaran akan dimulai pun
dibunyikan. Murid-murid langsung berhamburan masuk kelas. Liana, setelah cukup
lama berkeliling, akhirnya ikut masuk ke kelas. Tapi, ada yang menepuk
pundaknya pelan. Spontan, ia langsung menengok ke belakang.
“Saki!” Kata Liana setengah teriak.
“Hei. Aku hanya ingin memberitahumu, sepulang
sekolah nanti, kita akan mengadakan rapat penting di ruang kesehatan.”
“Rapat penting…?”
“Iya, Juno-senpai
memberitahuku tadi. Jangan sampai telat ya! Dah! Sampai bertemu lagi nanti
istirahat!” Kata Saki sambil melambaikan tangannya dan masuk ke kelasnya.
Liana diam sebentar lalu akhirnya masuk ke kelasnya.
@@@@@
TING TONG! TING TONG!
Bel tanda bahwa berakhirnya sekolah telah
dibunyikan. Setelah guru yang mengajar keluar, giliran murid-murid yang
berdesak-desakkan ingin keluar lebih dulu.
Liana memasukkan bukunya ke dalam tas lalu menunggu
sampai kelasnya benar-benar sepi tidak ada orang. Ketika ruangan kelas itu
benar-benar sepi, Liana beranjak dari kursinya dan berjalan keluar kelas.
“Hei, Liana. Kau lama sekali keluarnya.”
Liana langsung menengok ke kanan. Saki sedang
bersender di dinding sambil menyilangkan tangannya.
“Saki! Jadi, kau menungguku?” Tanya Liana yang
terlihat sedikit terkejut. Saki tersenyum.
“Tentu saja! Ayo, Liana! Kita tidak boleh membuat senpai-senpai itu menunggu!”
Saki menarik tangan Liana dan menuruni tangga dengan
sedikit terburu-buru. Liana hanya pasrah ditarik teman kecilnya itu.
Mereka pun sampai di depan ruang kesehatan. Saki
langsung membuka pintu ruang itu.
GREEEK!
“Kami datang! Maaf kalau kami terlambat!”
“Saki! Liana-chan!
Akhirnya kalian datang juga!” Kata Juno yang terlihat sangat antusias melihat
kedatangan mereka.
“Hai, senpai..”
Liana melambaikan tangan pada Juno. Juno membalasnya dengan senyuman.
Ternyata ketiga senpai
nya sudah datang lebih dulu dibanding mereka. Juno sedang duduk di salah
satu kasur di ruang itu, Haruki yang sedang tiduran di kasur yang diduduki
Juno, dan Kurosuke menatap pemandangan di luar dari jendela.
“Baik. Karena semuanya sudah berkumpul, aku akan
mulai rapatnya.”
Seketika, mereka semua langsung berhenti melakukan
aktivitas masing-masing dan memilih untuk mendengar Juno.
“Kalian pasti tahu, tentang murid kembar kelas 10
yang dikabarkan menghilang itu kan?” Tanya Juno kepada seluruh anggotanya.
Seluruhnya pun mengangguk.
“Kalau tidak salah, mereka sudah menghilang dari 5
hari yang lalu…” Kata Haruki sambil menaruh jari telunjuk dan ibu jarinya di
dagunya.
“5 hari yang lalu… hari ini hari senin, berarti 5
hari yang lalu itu hari… Rabu” Saki mengangkat tangannya dan menghitung dengan
jari-jarinya.
“Ya, itu benar,” Juno
menganggukan kepalanya, “Rumor bilang, mereka menghilang karena dibunuh oleh
makhluk aneh ketika jalan di malam hari.”
“Maksudmu, demon?”
Tanya Saki.
“Mungkin. Tapi aku tidak percaya dengan rumor itu.”
“Kalau menurut rumor yang kudengar,” Semua langsung
menengok ke Haruki.
“Mereka digentayangi dan diculik oleh makhluk halus
sehingga mereka dinyatakan menghilang.”
“Konyol,” Kata Kurosuke yang tetap memandangi
pemandangan dari balik jendela.
“Kata teman sekelasku,” Liana akhirnya angkat
bicara. “Mereka terlalu memamerkan kepintarannya sehingga mereka dibunuh dan
mayatnya tidak ditemukan dimana-mana.”
“Hm… itu cukup masuk akal…” Juno mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Berarti mereka sudah mati, ya…” Kata Haruki yang
awalnya mengambil posisi duduk, lalu kembali tiduran lagi.
“Sekarang, rumor yang didengar Juno-senpai jadi terdengar masuk akal…” Kata
Saki.
Liana mencengkram ujung seragamnya. Batinnya berkata
bahwa murid kembar itu belum mati. Lantas, suara siapa yang ia dengar di dalam
Stasiun Konohana itu? Suara laki-laki dan perempuan yang berteriak minta tolong
terus-menerus…
“La-lalu!” Teriak Liana tiba-tiba yang membuat
seluruh orang disitu melihat ke arahnya, kecuali Kurosuke.
“Lalu… suara siapa yang ada di stasiun waktu itu…?”
Tanya Liana yang badannya sedikit bergetar.
“Suara? Kau mendengar suara?” Tanya Juno balik pada
Liana.
“Iya… ketika aku ingin menyusul Kurosuke-senpai, aku mendengar suara minta tolong.
Awalnya, suara itu terdengar pelan. Tapi lama kelamaan mereka berteriak. Aku
takut sekali, dan langsung berlari dan berdiri di samping Kurosuke-senpai sambil mencengkram lengan bajunya.”
SIIIING… ruang kesehatan itu langsung sunyi senyap.
“Jadi, maksudmu, mereka itu masih hidup dan terjebak
di stasiun?” Tanya Saki yang langsung dijawab anggukan oleh Liana.
“Apa kau benar-benar mendengarnya, Liana?” Tanya
Juno yang memastikan bahwa Liana tidak berbohong.
“Benar, senpai.
Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.”
“Hmm… Bagaimana kalau malam ini, kita pergi ke
Stasiun Konohana lagi?” Ujar Haruki.
“Lagi?” Kurosuke terlihat tidak tertarik. Padahal,
ia ingin misi kali ini itu ada di tempat yang berbeda dari yang kemarin.
“Iya. Untuk memastikan, apakah yang Liana dengar itu
memang benar atau tidak. Itu berarti kau harus menjemput Liana lagi di rumahnya
besok malam.” Juno mengacungkan jari
telunjuknya. Kurosuke kembali memperhatikan pemandangan di luar tanpa
mempedulikan kata-kata Juno.
“Emm… ano… apakah besok sehabis pulang sekolah aku
boleh ikut kalian ke asrama? Lebih baik aku menunggu sampai malam tiba bersama
kalian daripada aku sendiri di rumah dan menyusahkan Kurosuke-senpai karena harus menjemputku,” Kata
Liana sambil mempertemukan kedua jari telunjuknya dan memainkannya.
“Tentu saja boleh, Liana-chan! Kau bisa bermain denganku untuk menghabiskan waktu!” Haruki
langsung bangkit dari tempat tidur dan
tersenyum bahagia.
“Iya. Kau juga bisa menitipkan tas mu di asrama kami
sementara waktu dan kau bisa mengambilnya lagi ketika misi kita sudah selesai,”
Kata Saki menambahkan.
“Ehehe… terima kasih banyak…” Liana tertawa kecil.
“Baik. Stasiun Konohana, jam 1 malam nanti.
Siapkanlah diri kalian, karena kita akan menyelamatkan mereka, bukan membiarkan
mereka dibunuh.” Kata Juno dengan nada bicaranya yang serius.
Seluruh anggota itu setuju. Malam ini, mereka akan
menghadapi misi yang lebih berat dibandingkan biasanya.
Yaitu, menyelamatkan nyawa murid sekolah mereka
sendiri.
@@@@@