“Ah, maaf. Tahan
sebentar ya. Kau tidak mau lututmu terinfeksi’kan?”
“Hmph, baiklah...”
Setelah
menyelesaikan misi mereka, mereka bergegas kembali ke asrama, markas mereka.
Asrama ini sengaja dibangun untuk tempat tinggal para Demon Hunter. Jadi jika
ada misi mendadak, mereka tidak perlu lagi mengunjungi rumah para anggotanya
satu per-satu. Cukup membunyikan alarm dari ruang laboratorium di lantai 4 dan semuanya pun akan terbangun.
Untuk pembagian
kamar, kamar untuk laki-laki ada di lantai 2 dan sedangkan kamar untuk perempuan berada di lantai 3. Di lantai 1 terdapat ruang tamu, dapur, dan ruang makan.
“Huaaahm... aku capek
sekali... Aku mau tidur, ah!” Haruki, setelah lukanya disembuhkan, menguap dan
menaiki tangga menuju lantai 2.
“Aku juga... kenapa
badanku lelah sekali? Rasanya seperti tidak tidur selama
seharian..?” Liana merasa
kelopak matanya semakin berat.
“Itu efek samping
dari mengalahkan demon. Kau
mengeluarkan banyak tenaga sehingga kau terasa sangat lelah. Bagaimana kalau
kau menginap satu malam saja disini?” Saran Juno.
Liana berpikir sejenak lalu tersenyum ke arah Juno.
Liana mau saja menginap di asrama ini. Tetapi, ia takut kalau ayahnya akan
khawatir. Dengan berat hati, Liana harus menolak permintaan Juno.
“Maaf, Juno-senpai.
Tapi, aku harus pulang. Ayahku akan mengkhawatirkanku,”
“Oh… Kalau ibumu, bagaimana? Dia pasti setuju kan
kalau kau menginap disini?”
Skak
mat!
Pertanyaan Juno langsung membuat Liana diam membeku, tidak bergerak se-senti
pun. Tenggorokannya terasa sangat kering walaupun ia sudah menelan ludahnya
beberapa kali.
“Hei, Liana? Kau tidak apa-apa?”
Juno menepuk pundak Liana. Tetapi, Liana langsung
menepisnya secara cepat.
Anggota Demon
Hunter yang lain langsung menengok ke arah mereka berdua. Haruki yang
sedang menaiki tangga pun langsung berhenti di tengah tangga.
“Liana? Ada ap-“
“Jangan. Berani. Menyentuhku.” Liana menatap tajam Juno.
Mata sapphire miliknya melihat ke
arah Juno dengan tatapan takut dicampur marah.
Saki yang melihat dari meja makan langsung segera
berdiri dan menghampiri kedua perempuan itu. Ini bukan Liana. Liana yang asli
adalah orang yang jarang marah. Dia juga orang yang baik dan sabar. Tidak
seperti perempuan yang ada di depan mata Saki dengan tatapan seperti itu. Mata
Liana tidak pernah melotot, kedua matanya selalu memancarkan tatapan lembut.
Ah! Jangan-jangan… ‘dia’ akan muncul…!
Tidak. Saki tidak akan membiarkan ‘dia’ muncul lagi!
“Liana? Kau kenapa? Kau sakit?” Tanya Juno yang
memasang wajah khawatir.
“Uggh… Ghh… AAAAAH!!!”
Liana mulai berubah. Rambutnya semakin panjang dan
rambut pirangnya menjadi merah. Mata sapphire
indah itu berubah menjadi warna hitam pekat yang kosong. Dua taring tajam
muncul dari mulutnya. Lalu, ia menatap satu persatu orang-orang di asrama itu
dengan pandangan benci.
“Liana!” Saki langsung menghampiri Liana. Kedua
tangannya mencengkram pundak Liana dan mengguncang-guncangkannya agak kasar.
“Liana! Sadarlah! Ini aku, Saki!”
Liana malah melotot ke arah Saki dan melepaskan
tangan Saki dari pundaknya, mendorongnya dengan kuat sehingga Saki terpental
agak jauh. Dengan sigap, Kurosuke langsung menangkap Saki sebelum terjatuh lalu
membantunya berdiri.
“Jangan sekali-sekali mengucapkan tiga huruf itu!
Aku benci! Benci… aku benci… benci semuanya… benci, benci, benci…. BENCI!”
Liana berteriak sambil memegangi kepalanya.
Ingatannya tentang masa lalu mulai kembali. Setiap kepingan-kepingan ingatan
masa kecilnya memasuki otaknya dan mulai berputar-putar di pikirannya.
“AGH! TIDAK…! TIDAK! AYAH! TOLONG AKUUU!”
Teriakan Liana semakin kencang dan rasa sakit di
kepalanya semakin hebat. Cairan merah di matanya sudah mulai menumpuk, lalu
akhirnya mengalir perlahan.
Dia menangis darah.
Kurosuke tidak percaya dengan apa yang dia lihat di
depannya sekarang. Seorang perempuan yang baru saja bergabung dengan Demon Hunter baru saja berubah menjadi
sosok yang mengerikan. Dan sekarang sosok itu sedang mengalirkan darah dari
matanya. Ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa manusia berubah bentuk? Dan bagaimana bisa manusia menangis darah?
Juno hanya bisa diam melihat keadaan Liana.
Sedangkan Haruki, dia sama sekali tidak bergerak. Entah karena takut atau
takjub.
“Liana! Hentikan!”
Saki langsung berlari menuju Liana, dan memeluknya
dengan erat seakan ia tidak akan membiarkan Liana untuk pergi.
“A-ayah… tolong, ayah… hiks… tolong aku...”
Liana memeluk Saki balik dan menangis di pundak
Saki, membasahi baju Saki dengan cairan berwarna merah. Perlahan-lahan tubuhnya
mulai kembali seperti semula.
“Ah… ayah…”
BRUK!!
“Liana?! Bangun, Liana! Lianaaa!”
@@@@@
Liana tertidur di salah satu kamar kosong di lantai
3 asrama tersebut. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Juno merapikan sedikit poni yang menghalangi wajah
Liana dan menyingkapkannya dibalik telinganya. Lalu, ia mengelus pipi Liana
dengan lembut.
“Dia tidak apa-apa, hanya kecapekan saja. Kalian
tidak perlu khawatir. Terutama kau, Haruki, hentikan tingkah konyolmu itu!”
Juno langsung mendorong Haruki terus menerus karena
dia berusaha untuk naik ke atas tempat tidur.
“Tapi Juno! Liana terlihat pucat! Apa kau tidak
merasa kasihan? Aku harus menemaninya agar dia membaik!”
“Kau ini… Jaga tingkah lakumu!”
Juno akhirnya memukul kepala Haruki sampai terdengar
bunyi-BUAK!-yang
keras. Haruki pun langsung jatuh pingsan.
Kurosuke, yang biasanya menangkap orang yang jatuh
di depannya, langsung membuka pintu kamar dan keluar begitu saja. Haruki
akhirnya jatuh ke lantai tanpa ada yang peduli.
“Kalau begitu, aku… akan kembali ke kamarku-“
“Kau tetap disini, Saki. Ada hal yang ingin
kubicarakan denganmu,”
Tap!
Saki menghentikan langkahnya. Kemudian ia memutar
badannya menghadap Juno yang sedang menumpu kaki kanannya di atas kaki kirinya.
Wajahnya tampak serius sekali, dan tatapan matanya mengatakan bahwa ada hal
besar yang harus dipecahkan.
“Ada apa, senpai?”
Tanya Saki yang sudah bersiap-siap untuk diceramahi. Mata kakak kelasnya itu
tidak pernah bisa dibohongi kalau dia sedang kesal.
“Yamada Saki… kenapa kau tidak bilang kalau dia
itu-“
“Iya, aku tahu, senpai.
Maafkan aku. Tapi-“
BRAK! Juno menggebrak meja rias di sampingnya.
“Bagaimana bisa kau tidak mengatakan hal sepenting
itu padaku?!”
“Aku-“
“Jawab aku, Yamada!”
“DENGARKAN AKU DULU, SENPAI!”
Krik… krik… suasana di kamar itu pun menjadi semakin
intens. Suara teriakan Saki yang menggema hingga ke seluruh lantai langsung
membuat Juno diam seribu kata. Lalu, ia berdehem kecil.
“Ehem, maafkan aku Saki. Aku hanya, kau tahu, aku
sangat khawatir dan membiarkan emosi memakanku. Aku benar-benar minta maaf,”
Juno menepuk pundak Saki dengan pelan.
“Tidak apa kok, senpai.
Aku mengerti.”
“Baiklah… Jadi, tentang Liana? Bagaimana dia bisa,
ya, kau tahu…”
“Ya. Hal ini tidak terjadi untuk yang pertama
kalinya. Tapi, sudah berkali-kali. Aku mulai sadar ketika kami berumur 9 tahun.
Kami sedang bermain, dan… dia berubah. Tapi itu tidak seberapa. Yang paling
parah adalah-“
Saki menundukkan kepalanya. Ia memejamkan matanya,
lalu menarik napas dalam-dalam dan kembali mengangkat kepalanya. Dia mulai
membuka matanya perlahan-lahan.
“-3 tahun yang lalu, ketika kami masih duduk di
kelas 7 SMP. Kejadian itu sampai menelan banyak korban jiwa”
FLASHBACK:
3 Tahun Lalu
KRIIING!
Bel
istirahat telah berbunyi. Seluruh murid berangsur-angsur menuju kantin sekolah
untuk mengenyangkan perut mereka masing-masing. Saki merapihkan bukunya sedikit
lalu berjalan ke luar kelas. Ia menuju ke kelas 7-3 dan mengintip dari balik
pintunya. Matanya menerawang ke seluruh penjuru kelas, tetapi dia tidak
menemukan apa yang ia cari.
Akhirnya,
Saki pun bertanya kepada salah satu murid di kelas tersebut.
“Permisi,”
Ujar Saki kepada murid lelaki yang baru saja mau keluar dari kelas itu.
“Ah,
ya, ada apa?”
“Apa
Liana Fleur ada di dalam?” Tanya Saki pada murid itu.
“Oh,
kalau tidak salah Fleur-san sudah keluar sejak beberapa menit lalu.”
“Begitu
ya… Terima kasih banyak,”
Saki
langsung berjalan dengan terburu-buru ke kantin. Ketika dia sedang menuruni
tangga, seseorang meneriaki namanya.
“Saki,
tunggu!”
Saki
memutarkan kepalanya ke arah suara itu, dan ternyata Liana yang memanggilnya.
Liana mulai menuruni tangga satu persatu untuk menyusul tempat dimana Saki
berdiri.
“Liana?
Kupikir kau sudah ke kantin lebih dulu,”
Liana
menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
aku baru saja keluar dari kamar mandi. Maaf,aku lupa memberitahumu, Saki.”
“Haha…
tidak apa-apa. Sebenarnya, sih, aku memang ingin meninggalkanmu…”
“Huuh…
Saki jahat!”
Liana
memukul lengan Saki, dan Saki pura-pura merasa kesakitan. Mereka bercanda dan
tertawa selama perjalanan mereka ke kantin sampai-sampai dilihati murid-murid
yang lain.
Tak
lama kemudian, mereka telah sampai di kantin. Saki akan mengambilkan makanan,
sedangkan Liana mencari tempat duduk untuk mereka berdua.
Liana
menengok ke kanan dan ke kiri mencari tempat duduk yang kosong. Sulit sekali
untuk mencarinya diantara kerumunan murid-murid. Tapi akhirnya ia menemukannya,
di pojok kanan baris ketiga. Liana langsung menghampiri tempat itu dan
mendudukinya sebelum diambil oleh yang lain.
Ia
berhasil duduk di tempat itu, tetapi tiba-tiba seorang murid datang dan
menggebrak meja Liana.
BRAK!
Jantung
Liana sempat berdetak kencang karena kaget, lalu ia melihat orang yang telah
menghampiri dan menggebrak mejanya.
“Emm,
apa senpai ada urusan denganku?” Tanya Liana yang terdengar seperti memancing
amarah mereka padahal ia hanya sekedar bertanya saja.
“Ha!
Jangan pura-pura tidak tahu ya. Ini tempat dudukku!” Kata murid perempuan
berwajah sok itu. Sedangkan murid lain di belakangnya hanya tertawa
terkekeh-kekeh.
Liana
mengerti sekarang. Pantas saja tempat duduk ini tidak ada yang mau menempati
padahal letaknya sangat strategis. Ternyata sudah ada yang menempatinya dan itu
adalah segerombolan geng murid perempuan kelas 9.
Biasanya,
murid yang pengecut akan langsung lari ketakutan dan mencari tempat lain.Tapi
Liana berbeda. Ia tidak takut pada siapapun selama dia benar dan mereka yang
salah. Seenaknya saja mereka mengambil hak orang. Mereka pikir mereka siapa?
Kepala sekolah saja tidak seperti itu.
“Lalu
kalau ini tempat duduk senpai, kenapa? Apa aku harus mengalah dan mencari
tempat lain?” Tanya Liana menantang kakak-kakak kelas itu. Melihat wajah-wajah
mereka yang kesal itu sebenarnya membuat Liana takut. Tapi Liana berusaha
menghilangkan rasa ketakutannya.
“Jangan
buat aku kesal, bocah! Baru kelas 7 saja sudah sombong!” Murid
kelas 9 itu menarik rambut Liana dengan paksa, membuat Liana meringis kesakitan.
Mereka pun tertawa bersama.
“Hahahaha!”
“Habisi
dia, Tanaka!”
“Kita
buat dia agar dia menyesal sampai-sampai
ia malu menunjukkan wajahnya di sekolah!”
Murid-murid
yang lain hanya bisa melihat kejadian itu dan berdoa agar Liana selamat. Mereka
mau saja membantu, tapi mereka kurang kuat. Sedangkan beberapa murid yang
terkenal akan kenakalannya malah mendukung dan bersorak-sorak.
Saki
mencari-cari dimana Liana sambil membawa makanan. Sambil mencari, matanya tertuju pada keramaian di pojok kanan kantin. Tapi, daripada memikirkan itu,
lebih baik dia menemukan Liana terlebih dulu.
Tanaka
tersenyum jahat dan menarik tangan Liana dengan kasar, menyuruhnya untuk mengikuti
dia. Teman-temannya tertawa sambil mengintili Tanaka di belakang.
Liana
berusaha melepaskan cengkraman tangan Tanaka dari lengannya, tapi ia tidak
terlalu kuat untuk melakukannya. Ia mulai merasa ketakutan. Badannya gemetar
tak karuan. Dia pasti akan di-bully dan dipermalukan oleh kakak-kakak kelas
ini.
Liana
tidak mau! Ia benci diperlakukan seperti ini! Ia tidak terima! Ia benci ini! Ia
benci!!
Tanaka
terus menarik tangan Liana, tetapi dia tidak bergerak sama sekali. Ia pun mulai
kesal.
“Hei,
bocah! Jangan bengong-“
Sebelum
Tanaka menyelesaikan kata-katanya, tangan putih itu menarik kerah bajunya dan
beberapa detik kemudian tangannya yang lain melayang mengenai dagunya,meniru
gaya upper cut, dan Tanaka terpental jauh sampai-sampai meja dan
kursi di
kantin itu rusak.
BUAAAK!!!
Murid-murid
di kantin langsung memandang kejadian itu dengan tidak percaya. Tanaka,
pemimpin geng murid perempuan yang paling kuat dan sombong di kelas 9 itu,
kalah dengan anak kelas 7?! Tidak mungkin!
Dan
lagi, murid yang mengalahkan Tanaka itu telah hilang entah kemana. Tetapi, ada
seorang perempuan berambut merah dengan tatapan kosong berdiri tepat dimana
murid perempuan yang memukul Tanaka tadi.
Saki, yang sudah mencari kemanapun tapi tidak menemukan Liana, akhirnya tertarik untuk melihat kejadian yang menyebabkan kehebohan itu.
Karena
Saki tidak bisa melihat kejadian dengan jelas, ia pun bertanya kepada murid di
depannya yang sedang memajang wajah kaget. Saki menepuknya pundaknya pelan agar
murid itu tidak kaget.
“Permisi,”
Murid
laki-laki tersebut menengok ke belakangnya.
“Apa…?”
“Anu,
sebenarnya apa yang terjadi tadi?”
“Kau
tidak melihatnya? Perempuan itu meng-upper cut Tanaka sampai dia pingsan!
Padahal
katanya ia anak kelas 7! Yah, aku juga tidak yakin kalau Tanaka masih hidup atau tidak…”
Saki
menatap murid itu dengan tidak percaya. Tidak yakin kalau masih hidup atau
tidak? Maksudnya… mati? Siapa yang punya kekuatan seperti itu sampai bisa
membunuh orang?
Perempuan
berambut merah panjang itu menengok ke belakang. Kerumunan murid itu langsung
ketakutan dan mundur beberapa langkah. Terutama anak-anak yang suka membuat
masalah di sekolah.
Perempuan
itu menatap seluruh murid disitu dengan tatapan kosong sampai-sampai orang lain
pun tidak bisa mengira apa yang sedang dia rasakan saat itu. Marah kah? Sedih
kah? Senang kah? Tidak ada yang tahu. Tidak akan pernah ada yang tahu.
Beberapa
detik kemudian, ia menyeringai, menunjukkan deretan giginya yang bertaring dan
juga tajam.
Ia
memutarkan badannya. Kaki kirinya ia tekuk perlahan-lahan, dan…
Lari
dengan kecepatan tinggi!
“Mati!
Matilah kalian semua! Ahahahaha!!”
SRAAAT!
CRAAT!
SRAAAT!!
BRUK!
“KYAAAAAA!!!”
“WAAAA!!”
“SEMUANYA,
LARI!”
Saki
bengong melihat keadaan yang sedang terjadi di depan matanya. Hampir seluruh
murid di sekolahnya telah terkulai tidak bernyawa. Darah berceceran di lantai
kantin saat itu.
Dan
dia melihat sosok tersebut. Sosok perempuan berambut merah panjang itu sedang
membunuh murid-murid lain. Ah, Saki tahu tepat siapa perempuan itu. Itu adalah…
Liana…
“Hei!
Saki! Ayo cepat pergi dari sini!”
Teman
sekelas Saki menarik lengannya. Lalu Saki membiarkan dirinya dibawa oleh
temannya, entah kemana kah dia akan pergi. Yang pasti, temannya akan membawa
dia ke tempat yang aman bersama dengan murid-murid lain.
Hari
itu, kantin menjadi area yang sangat menjijikan. Mayat bergelimpangan
dimana-mana, darah segar berceceran dan bahkan ada yang bagian tubuhnya sudah
terpisah.
Sungguh
kejadian yang mengerikan.
FLASHBACK:
3 tahun lalu END
“…. Begitulah,”
“Hem… jadi itu yang menyebabkan banyaknya korban
jiwa yang jatuh. Bukannya kalau tidak salah, kepala sekolah di SMP itu bilang
bahwa semuanya terjadi karena kebakaran?” Juno, yang berusaha memastikan apakah
informasi yang diberikan Saki itu benar atau tidak, bertanya kepadanya.
Ya, SMP Sakura memang pernah mengalami kejadian yang
menelan banyak korban jiwa. Pihak sekolah berkata bahwa semua itu terjadi
karena kebakaran yang berasal dari kantin. Memang bukan kebakaran besar, tapi entah
kenapa ini menjadi berita yang sangat terkenal waktu itu. Dan anehnya, seluruh
Jepang percaya bahwa kejadian itu terjadi akibat kebakaran. Padahal, tidak ada
yang hangus sama sekali. Tubuh-tubuh korban pun juga tidak memiliki luka bakar
sama sekali yang bisa menyebabkan kematian. Hanya ada darah yang bercampur
menjadi satu di lantai putih tersebut dan mayat-mayat yang bagian tubuhnya
sudah terpisah-pisah.
“Itu hanya alibi kepala sekolah kami saja. Karena
terlalu banyak orangtua murid yang memprotes, tak lama kemudian sekolah itu pun ditutup. Aku dan Liana
terpaksa mencari SMP lain,”
Juno mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia
melirik ke arah Liana yang tertidur dengan pulasnya di atas tempat tidur.
Rasanya ada suatu hal yang membuat Juno ingin
terus melindunginya selamanya.
Apakah karena dia itu...
Tidak dilahirkan dengan tubuh manusia sepenuhnya?
‘Ya, mungkin karena itu…’ Pikir Juno sambil
tersenyum tipis.
@@@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar